Powered By Blogger

Selasa, 04 November 2008

STUDI KASUS ABU GHURAIB TERHADAP PELANGGARAN INSTRUMEN HUKUM HUMANITER ( KONVENSI JENEWA TAHUN 1949 PASAL 13 )


Pelanggaran terhadap HAM terutama yang berkaitan dengan pelanggaran HAM berat termasuk salah satunya adalah kejahatan terhadap kemanusiaan yang diatur dalam Statuta Roma 19981, yang mana terkait dengan kasus Abu Ghuraib ini amatlah meresahkan dunia HAM Internasional. Kasus yang terjadi 4 tahun silam ini bermula dari masalah invasi Amerika ke Irak. Tentara AS yang dikirim ke Irak ternyata melakukan kekerasan terhadap para tawanan perang. Hal ini kemudian berlanjut pada pembunuhan 25 orang pengikut Imam Muqtada Al-Sadr. Semakin hari tentara AS semakin brutal. Mereka melakukan penindasan dan pelecehan seksual terhadap sejumlah tawanan perang Irak. Karena terbongkarnya kasus inilah kemudian dunia internasional mengambil sikap untuk segera menyelesaikan kasus ini dengan merujuk pada instrument hukum humaniter, Konvensi Jenewa 1949 pasal 13.

Melihat pada fakta yang ada, dengan banyaknya pelanggaran terhadap hukum humaniter dalam perang Irak ini, pertanyaan yang sering kali muncul adalah apakah hukum humaniter masih efektif berlaku dan apakah pelaku pelanggaran terhadapnya dapat dipersalahkan dan kemudian diadili dengan dalil melanggar hukum humaniter?

Perlindungan terhadap tawanan perang dalam konstelasi hukum internasional termasuk dalam hukum humaniter yang mana berisi tentang HAM yang secara spesifik ditujukan pada saat perang, perlindungan terhadap sejumlah orang yang tidak mengikuti perang serta tata cara dan metode berperang. Salah satu instrument yang mengatur tentang hal tersebut adalah Konvensi Jenewa yang telah diratifikasi oleh Amerika Serikat pada 2 Agustus 19552 dan 100 negara anggota PBB, sehingga dalam hal ini AS yang menjadi salah satu Negara pemrakarsa HAM ini telah memperlihatkan ketidakhormatannya terhadap prinsip-prinsip hukum dan HAM. Dalam Konvensi Jenewa pada pasal 13 disebutkan bahwa tawanan perang (prisioner of war) harus diperlakukan sama secara kemanusiaan dalam semua keadaan (must all times be humanly treated). Setiap perlakuan yang menyimpang dari pihak penahan adalah dilarang keras dan dikategorikan sebagai pelanggaran yang amat serius terhadap Konvensi Jenewa (serious brench to Geneva Convention). Kemudian, tawanan perang harus dilindungi setiap saat dari kekerasan, intimidasi, penghinaan, dan publisitas.3

Konvensi Jenewa amat eksplisit dalam melarang prajurit memperlakukan tawanan perang dengan tidak memanusiawikan mereka. Sehingga, dapat dikatakan bahwasanya hukum humaniter tidak berlaku efektif jika melihat dari kasus Abu Ghuaib yang telah dilakukan oleh AS ini. Meskipun demikian diharapakn pihak yang bersengketa tetap terikat dan wajib mematuhi hukum humaniter karena telah menjadi hukum kebiasaan internasional yang merupakan sumber-sumber hukum internasional.

Sedangkan, para pelanggar hukum humaniter di Irak sangat bisa dipersalahkan dan diadili. Kemudian, para pelaku tersebut dihukum setara dengan kejahatan perang karena hal ini adalah pelanggaran yang dapat meningkat menjadi kejahatan terhadap kemanusiaan.

Sebenarnya, keinginan dari hukum humaniter amatlah simple. Hukum ini tidak melarang adanya perang ataupun mempermasalahkan bagaimana perang itu terjadi, melainkan hukum ini hanya ingin adanya ketegakan HAM dalam situasi apapun. Seperti halnya perlindungan terhadap warga sipil, tentara yang tidak mengikuti perang, serta tawanan perang memiliki hak yang sama dalam hukum dan layak untuk mendapatkan perlakuan yang sama dalam artian yang manusiawi. Membuat perang lebih manusiawi, itulah inti dari keinginan hukum humaniter.

1 Romli Atmasasmita, Kapita Selekta Hukum Pidana Internasional, CV Utomo, Bandung, 2004, hlm.3

2 http://swaramuslim.net/morephp?id=P1900_0_1_0_C

Hyperlink http://swaramuslim.net/morephp?id=1869_0_1_26_m\t”_blank”

3 Boer Mauna, Hukum Internasional Pengertian Peranan dan Fungsi dalam Era Dinamika Global, Penerbit Alumni, Bandung, 2003.

Tidak ada komentar: