Powered By Blogger

Senin, 21 Juli 2008

political-INTERVENSI AMERIKA SERIKAT MEMPENGARUHI STABILITAS POLITIK DI TIMUR TENGAH

INTERVENSI AMERIKA SERIKAT MEMPENGARUHI STABILITAS POLITIK
DI TIMUR TENGAH
  1. KEPENTINGAN YANG DIMILIKI OLEH AMERIKA DI TIMUR TENGAH.
Amerika pergi ke Timur Tengah pada awalnya didasari atas kediktatoran seorang pemimpin yang otoriter di negara Irak sejak tahun 1979. Amerika berkeinginan untuk menegakkan demokrasi serta Hak Asasi Manusia, karena Amerika melihat tindakan Irak yang agresif sehingga membahayakan warga negaranya sendiri. Selain alasan itu Amerika menganggap bahwa Iran juga membahyakan pihak lain (negara lain) karena dia mempunyai senjata nuklir sebagai senjata pemusnah massal. Semua alasan itulah yang mendorong Amerika untuk melakukan invasi di Irak pada athhun 2003 yang lalu sebagai salah satu tindakan awal untuk melakukan invasi ke negara-negara lain di Timur Tengah.
Setelah melakukan invansi di Irak ameriak tidak begitu saja puas. Kemudian dia melakukan aksinya lagi di beberapa negara-negara lain di Timur Tengah. Kepentingan yang melatar belakangi Amerika melakukan hal itu adalah; pertama, menjaga eksistetnsi negara Israel sebagai satu-satunya negara yang Timur Tengah yang Arab dan bukan islam. Kedua, menghalangi agar Uni Soviet tidak mempunyai pengaruh sama sekali di wilayah ini semasa Perang Dingin. Ketiga, menjaga kelancaran kepentingan Amerika dan juga kepentingan negara-negara Barat dalam mengakses minyak diwiliyah ini, baik dalam hal eksplorasi maupun suplai minyak. Keempat, melindungi perluasan investasi dan perdagangan Amerika di wilayah ini. Kelima, dengan kehancuran Uni Soviet, Amerika Serikat beranggapan paham komunisme akan digantikan dengan paham Islam Fundamental. Keenam, mencegah para penguasa yang dianggap radikal dan menentang kepentingan Amerika Serikat di wilayah ini, misalnya tekanan-tekanan Amerika yang ditujukan terhadap Irak adalah salah satu bentuk dari kebijakan Amerika dalam mencegah munculnya penguasa yang menentang kepetingan Amerika Serikat.1

  1. INTERVENSI AMERIKA DI TIMUR TENGAH.
Intervensi yang dilakukan oleh Amerika Serikat di negara-negara Timur Tengah tak hanya berakhir di wilayah Irak saja melainkan telah menjalar pada negara yang lain di Timur Tengah. Amerika Serikat kembali melontarkan ancaman kepada Iran. Di Gedung Putih, Presiden AS George W. Bush menyatakan, jika Iran memperkeruh suasana di Irak, AS tidak akan segan bertindak. Walaupun tidak mengandung ketegasan bahwa AS akan menginvasi Iran sebagaimana halnya ke Irak tahun 2003, namun tindakan itu pasti berupa aksi militer berskala besar.
Para pengamat Timur Tengah di kawasan Teluk, yang dilansir media-media setempat menilai, AS tampaknya "kepalang basah". Irak yang menjadi pertaruhan wibawa AS dihadapan negara-negara Arab, justru menimbulkan banyak masalah baru di luar dugaan.2
Metode yang dilakukan oleh Amerika melalui lembaga Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk mengisolasi, menghancurkan, menginvasi dan menjajah negeri para mullah itu sebagaimana yang dilakukannya terhadap Irak sudah biasa dilakukan AS dan Israel guna memaksakan kehendaknya bagi negara yang tidak mau masuk dalam lingkaran hegemoni AS. Para pemikir AS dan negara zionis itu bertahun-tahun bekerjasama memikirkan bagaimana cara menghancurkan negara di Timur-Tengah yang menjadi batu sandungan bagi kepentingan politik dan ekonominya dengan jalan berbagai macam provokasi dan manuver.

KUWAIT
Masih segar dalam ingatan bagaimana AS beserta sekutunya memprovokasi Irak untuk menyerang Kuwait tahun 1990. Setelah pasukan Irak menginvasi Kuwait barulah AS dan Israel berhasil mendapatkan legitimasi PBB untuk menyerang Irak pada perang Teluk I tahun 1991.
Belum puas atas tergulingnya presiden Saddam Hussein yang dilakukan George H.W. Bush senior, kemidian masalah ini diteruskan oleh putranya Bush junior yang menyerang Irak tahun 2003 dengan alasan Saddam Hussein mengembangkan senjata pemusnah massal, sponsor terorisme dan negara poros kejahatan bersama Suriah, Iran, Lybia dan Korea Utara.
Serangan Israel Ke Lebanon tahun lalu juga sudah dimatangkan dengan AS selama berbulan-bulan jauh sebelumnya. Dengan alasan menghancurkan kelompok Hizbullah yang membantu gerilyawan Palestina, Israel sebenarnya ingin menjajah Lebanon kembali seperti invasinya pada tahun 1982. Baru pada tahun 1990, Israel angkat kaki dari Libanon berkat perjuangan kelompok Hizbullah di Libanon Selatan.
Dan kali ini Iran mendapatkan giliran. Dengan alasan ingin menghentikan program nuklir Iran. Bukannya tidak mungkin AS dan Israel kelak menyerang negeri kaum “Islam Berjenggot” itu secara militer. Walaupun Iran berulangkali menyatakan bahwa program nuklir untuk tujuan damai guna memenuhi kebutuhan energi dalam negerinya. Dengan alasan yang dibuat-buat Iran akan membuat senjata nuklir dan ini sangat membahayakan stabilitas kawasan Timur-Tengah, AS akan mendapat legitimasi PBB untuk menyerang Iran secara militer.

POLITIK MINYAK
Kampanye untuk menghancurkan Iran ini sudah lama dirancang AS dan Israel. Sejak hubungan Iran-AS yang harmonis terusik karena revolusi Islam Iran pimpinan Ayatollah Khomeini tahun 1979 berhasil menggulingkan pemerintahan rezim monarki Syah Reza Pahlevi dukungan kuat AS dan sekutu dekat Israel. Amerika Serikat hamper saja tercoreng mukanya karena dipermalukan oleh kaum mullah di Iran yang konservatif dan dianggap tak mempunyai pengaruh dan kekuatan apa-apa bagi negara sekuat dan selicik Amerika.
Sejak meletusnya revolusi Islam Iran yang membuat hubungan kedua Negara antara Amerika Serikat dan Israel terus-menerus melakukan kampanye untuk menghancurkan dan menginvasi Iran. Iran dituduh sebagai poros kejahatan dan sponsor terorisme. Ini disebabkan dukungan Iran terhadap kelompok Hamas di Palestina, Hizbullah di Libanon dan kelompok Islam militan lainnya yang anti Israel dan dominasi AS di kawasan Timur Tengah. Rencana AS menyerang Iran ini sudah beredar sejak dua tahun lalu. Bahkan sudah menjadi rahasia umum, setelah Majalah New York Workers edisi 24-31 Januari 2005, memuat tulisan Syemor M. Hers berjudul "The Coming Wars". Hers mengungkapkan, Iran menjadi bagian tak terpisahkan dari rancangan invasi AS ke Irak. Jika sukses di Irak, Iran akan menjadi sasaran berikutnya. Jika gagal, Iran sebagai negara tetangga terdekat Irak serta seteru lama AS harus menanggung limpahan akibat.3
AS memang sangat tergila-gila dengan sumber daya alam Iran yang kaya akan minyak, andaikan Iran diserang secara militer, AS bisa menguasai sumber minyak Iran yang diperkirakan 70 persen cadangan energi dunia ada di bumi negeri Teluk Parsi itu. Sementara dari segi politik, AS tetap memegang kendali pengaruhnya di Timur Tengah. Bagi Israel keuntungannya tentu saja berkurang pula negara yang menjadi ancaman bagi negara zionis itu. Israel yang terus khawatir akan eksistensi negaranya di tengah negara Arab itu ingin tetap mendominasi kawasan Timur-Tengah secara politik dan militer.

NUKLIR IRAN
Layaknya peribahasa “senjata makan tuan”, program nuklir Iran ini sebenarnya Amerika adalah pihak yang pertama kali memulai dan mengembangkannya. Program kerjasama nuklir Iran sendiri dimulai tahun 1957 dengan AS. Saat itu Shah Reza Pahlevi mulai berkuasa. Kemudian kerjasama itu menghasilkan pembentukan badan kajian nuklir yang disebut pusat atom di Universitas Teheran.
Dua tahun kemudian Iran mendirikan pusat riset Taheran. Pada tahun 1967, AS membantu pembangunan reaktor nuklir berkekuatan lima megawat lengkap dengan teknologi pengayaan uraniumnya. Setahun kemudian Iran menandatangani traktat nonprofilerasi nuklir. Pada tahun 1970, Shah Reza merencanakan kerjasama dengan Amerika dan sekutunya membangun 23 reaktor nuklir di seluruh negeri hingga tahun 2000.4
Busher reaktor nuklir pertama yang dibangun Iran pada 1975, untuk memenuhi kepentingan energi listrik di kota Shiraz. Pada tahun 1975 itu juga Henry Kissinger menandatangani National Secutiry Decision Memorandum 292 kerjasama nuklir AS-Iran. Setahun kemudian presiden AS Gerald Ford menawarkan Taheran untuk membeli, membangun dan mengopersikan fasilitas ekstrak plutonium dari bahan bakar reaktor nuklir.
"Singkatnya, tiga isu sentral AS (tiga isu sentral yang selalu dimunculkan AS itu adalah perlucutan senjata pemusnah, penumbangan rezim Saddam Hissein, dan stabilitas kawasan. Washington, tambahnya tampak selalu mengganti tiga isu itu secara bergantian dan sesuai perkembangan ) ini dibolak-balik untuk melawan opini anti perang dari masyarakat internasional," kata Bachtiar Aly.5
PBB sejauh ini tidak banyak berperan menghentikan peperangan di Irak. Dikatakannya, saat gencarnya gempuran AS ke Irak, Sekjen PBB Kofi Annan yang seharusnya menggunakan wewenangnya untuk menghentikan perang, justru hanya menyerukan bantuan kemanusiaan, tanpa mendesak dihentikannya peperangan.
Sikap Sekjen PBB ini secara tepat digambarkan Menteri Luar Neger RI, Hassan Wirayuda sebagai apa yang disebutnya mengkerdilkan peran PBB, ujar Prof Bachtiar Aly. Ia berpendapat, satu-satunya upaya pemulihan krisis Irak itu adalah pembentukan pemerintahan yang memiliki legitimasi dan melibatkan semua unsur masyarakat tanpa campur tangan asing. Sumbangan terpenting dunia internasional saat ini hendaknya mendorong kuat rakyat Irak untuk menatap masa depan, agar tidak hanya terpaku pada persoalan masa silam. Sikap ini perlu ditanamkan kepada rakyat Irak agar segera keluar dari krisis, katanya.

1 Setiawati, siti muti’ah, Irak di Bawah Kekuasaan Amerika, hal. 70, Yogyakarta : PPMTT HI FISIPOL UGM, 2004.
3 ibid

Tidak ada komentar: